Pengembara yang masih tertatih berjalan di bawah bayang fatamorgana

Mantari Bungsu ©

About

Blog ini merupakan catatan pribadi dan kutipan serta tulisan dari berbagai sumber yang penulis rasa layak untuk di publish dan semoga dapat menjadi salah satu bahan referensi dan bacaan yang sifatnya untuk konsumsi personal dan atau lembaga.
Berbagai tulisan terkait pendidikan, agama dan budaya menjadi fokus kami dalam menyajikan tulisan dihadapan netizer.
Berbagai kritikan dan saran serta pandangan dan apresiasi kami harapkan dari netizer yang sempat singgah di blog ini.
Terimakasih.

Resume

Employment

Abdi Negara

Education

IKIP Padang

Portfolio

Tsunami02


2. Jembatan Simpang Surabaya
 

Guncangan hebat telah berhenti di pagi itu, tanggal 26 Desember 2004, kami kembali masuk ke rumah untuk memeriksa barang-barang yang telah berserakan diseantero ruangan. Sontak saya ingat, kalau di kantor tempat saya bekerja, ada tower radio Visi FM yang tingginya mencapai 60 meter. Pikiran saya melayang kesamana, kemungkinan tower itu jatuh dan menimpa kantor atau kantor yang berdekatan dengan kantor saya di Dinas Pendidikan Aceh. 
Saya sambar pakaian yang tergantung di dinding rumah, saya ambil kunci mobil yang sudah bertebaran di lantai dan pamitan dengan Istri dan anak-anak bahwa saya akan ke kantor untuk memastikan kondisi tower radio, jangan-jangan telah tumbang oleh gempa pagi itu. 
Jarak rumah tepat saya tinggal dengan kantor sekitar 5 kilometer, dan hanya membuthkan waktu sekitar sepuluh menit untuk ke sana. Selama dalam perjalanan, saya sempat memperhatikan masyarakat yang masih berada di luar rumah mereka masing-masing dan masih ada yang terlihat seperti orang setengah mabuk, hoyong dan berjalan tertatih-tatih. 
Sebelum saya sampai di kantor, dari kejauhan saya melihat bahwa tower radio yang saya khawatairkan tumbang, ternyata masih berdiri dengan kokoh dan tali sling sebagai penopang hanya sebagian yang terlihat longgar. Akhirnya saya tidak jadi melanjutkan perjalanan ke kantor, mobil saya belokkan ke kiri, pas samping gedung DPR Aceh menuju arah Asrama TNI Kuta Alam, saya belokkan lagi mobil ke arah kiri dengan tujuan untuk kembali pulang ke rumah. Sesampainya di samping sungai Krueng Aceh, tepatnya sebelum jembatan penyeberangan Simpang Surabaya, saya menoleh ke arah sungai, saya lihat orang sudah rame berdiri di tepi sungai dan di dalam sungai telah bertebaran sampah bangunan, perabotan rumah tangga, kayu, besi, sampan dan sampah-sampah lainnya yang diseret oleh air ke arah hulu sungai. di antara tumpukan sampah terlihat banyak orang yang lagi menjerit minta tolong, jumlahnya hampir sama dengan banyaknya sampah yang lagi terseret arus.
Melihat suasana itu, saya spontan memarkirkan mobil di pinggir jalan dan keluar serta menyeberang ke arah bantalan sungai untuk melihat lebih dekat. Masya Allah, disana sudah banyak mayat dan manusia yang lagi sekarat serta sebagiannya masih ada yang kuat minta tolong dan berupaya untuk menggapai pinggiran sungai. Masyarakat yang berada dipinggiran sungai berusaha untuk membantu orang yang lagi hanyut tersebut dengan menjulurkan kayu, tali dan kain agar dapat digaet dan dijadikan pegangan untuk naik dan keluar dari seretan arus sungai yang begitu kencang. 
Saya juga berupaya untuk bersama-sama membantu mereka yang hanyut, sebentar-sebentar saya melihat ada orang yang terseret arus sungai dan menggapai tiang-tiang di bagian bawah sungai. Banyak diantara mereka yang kembali jatuh dan dihantam kayu serta sampah  keras lainnya dan akhirnya jatuh terseret kembali ke dalam arus yang begitu kencang dan sesaat hilang tertalan arus sungai.
Saat itu, saya tidak sempat berfikir lagi apa yang terjadi, saya masih awan dengan istilah tsunami, saya hanya keheranan kenapa air begitu kencang menuju arah hulu sungai dan sampah-sampah serta manusia yang begitu banyak di dalamnya.  Sembari membantu orang yang terseret arus sungai, saya menoleh ke arah jalan raya yang sudah semakin ramai orang berlarian menuju  arah ulee kareng dan simpang surabaya. Mobil, kendaraan roda dua, becak telah berdesak-desakan di jalanan itu, terlihat seperti kemacetan padat kota besar.
Sekitar 30 menit kemudian, saya melihat rombongan anak-anak berpakaian seragam olahraga; "Santri Saya" secara refleks pikiran saya menangkap kalau mereka adalah santri saya di Dayah Terpadu Inshafuddin. Spontan saya hentikan upaya menolong orang-orang yang terseret arus sungai, saya berjalan ke arah mereka seraya bertanya: "bagaimana dengan dayah kita....?". Mereka menjawab bahwa dayah telah hancur dan hanyut. Saya mulai gelisah teringat dengan istri dan anak-anak serta santri yang jumlahnya lebih 400 orang yang kami asuh selama ini. 
Ditengah kegundahan batin saya itu, saya pesankan kepada para santri agar menyeberang ke arah simpang surabaya dan berhenti di sana untuk berkumpul dan menunggu teman-teman mereka yang masih berada di belakang. Ada dua orang ustadz bersama mereka, saya pesankan kepada ustadz tersebut agar berkumpul dikawasan simpang surabaya, sambil mengumpulkan santri-santri lainnya. 
Saya kembali ke mobil dan berjalan menuju arah simpang jambo tapee, arah menuju Dayah Terpadu Inshafuddin, dimana saya tinggal disana bersama keluarga dan ratusan santri. Sesampainya di simpang jambo tapee, terlihat air sudah menggenangi jalan. Saya tetap  melanjutkan perjalanan sampai akhirnya mobil digenangi air sampai separohnya dan mesin  mobil sedan tua itu mati. Saya ke luar dari mobil  dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke arah Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Saat itu, air sudah di atas lutut, dengan arus yang cukup deras. Sampah dan mayat manusia yang terseret air bertebaran di sepanjang jalan Tgk. H.M. Daud Beureueh itu. Sembali berjalan saya perhatikan mayat itu satu persatu, pikiran saya sudah mulai gundah, setiap mayat yang mirip dengan postur tubuh istri dan anak saya, saya amati dengan cermat; "Mungkin itu istri saya, mungkin ini anak saya" kalimat itu senantiasa bergayutan di benak saya dikala melihat ada mayat yang terapung dan hanyut yang mirip dengan postur tubuh mereka.
Sesekali, saya sempat juga melihat ada orang yang memegang mayat yang hanyut, saya awalnya berfikir mereka juga lagi mencari keluarga yang hanyut atau hilang, tetapi ternyata sebagiannya ada yang mengambil perhiasan yang masih terpasang di tubuh mayat-mayat yang hanyut. Batin saya sangat tidak menerima perlakuan itu, tetapi dalam suasana yang serba tidak menentu tersebut, saya tidak mampu untuk menegur apalagi melarang mereka. Saya hanya berfikir; "mungkin itu keluarga mereka", pikiran yang saya paksakan di dalam benak saya untuk menghapus buruk sangka terhadap orang-orang yang saya lihat tersebut. Ada ratusan mayat saya lewati, akhirnya saya sampai di depan Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Saat saya membelokkan perjalanan ke arah kiri menuju Dayah Terpadu Inshafuddin, air sudah semakin tinggi, saya ambil dompet dan segala benda yang ada pada kantong celana saya, saya angkat tinggi agar tidak terendam air. 
Selama dalam perjalanan ini saya harus melalui tumpukan sampai dan mayat manusia yang berseliweran diseret arus air. Dengan sangat hati-hati saya lanjutkan perjalanan agar tidak sempat tertusuk atau terinjak benda-benda sampah yang membahayakan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar 100 menit (dalam kondisi normal, hanya membutuhkan waktu 20 menit), saya sampai ke gerbang Dayah Terpadu Inshafuddin. Saya perhatikan gedung-gedung masih berdiri kokoh, hanya ada delapan ruangan yang hancur dan sudah dipenuhi sampah dan mayat. Saya pandang ke arah rumah tempat kami tinggal, terlihat masih utuh. Pelan-pelan dan penuh kehati-hatian, saya berjalan menuju rumah dan sesampainya di depan rumah, saya perhatikan tinggi tumpukan sampah sudah melewati tinggi pandangan mata saya. 
Saat sampai di depan pintu rumah, saya lihat pintu rumah terbuka sepertiganya sementara kaca jendela ada yang pecah sebanyak 2 buah jendela. Saya masuk ke rumah sambil berpijakan di lemari ruang tamu yang telah rebah, sambil menguakkan sampah-sampah ringan yang terapung di permukaan air. Tinggi air saat itu, masih melebihi tinggi badan saya, hanya saja karena berdiri di atas benda-benda sampah saya tidak sempat terendam. Saya masuk ke kamar depan, saya lihat tilam sudah merapung seperti perahu, saya coba masuk lebih dalam sambil menguakkan sampah-sampah dan saya perhatikan dengan seksama, apa ada salah satu anggota keluarga saya yang terkurung di sana. Setelah  meneliti semua ruangan dalam rumah tersebut, saya akhirnya kembali ke luar rumah, pikiran saya semakin kacau, keluarga yang saya cari tidak ada dalam rumah, tidak ada dalam perjalanan tadi. Saat itu, saya tidak lagi berfikir hidup atau mati, yang penting  berjumpa dengan mereka, sebagian jiwa saya sudah saya paksanakan untuk menerima kalau-kalau harus menjumpai mayat keluarga saya.
Di tengah kegalauan hati tersebut, saya masih sempat melihat kendaraan roda dua yang biasa saya pakai, telah tertimpa dengan sampah yang menggunung. Kendaraan itu juga sering dipakai oleh adek saya, "Kenapa Honda ini masih di sini, berarti si Rid (nama panggilan adek saya) tidak sempat lari". Menurut perkiraan saya saat itu, si Rid tidak sempat mengendarai kendaraan ini atau dia telah hanyut terseret arus air bersama anggota keluarga yang lainnya. Saya sejenak termangu memandang dayah yang sudah centang perenang, sebagian gedung yang telah rubuh dan hanyut serta tumpukan sampah yang menggunung diseluruh pekarangan dayah.

Kemana saya harus mencari mereka...............!?




 


   

      
         



    


 

     

Category

No comments:

Popular Post

Comments

Videos

Formulir Kontak

♖Your Name :
✎Your Email *required
✉Your Message *required